Opini  

Tanah Sebagai Alas Produksi: Pandangan Serikat Petani Indonesia Melawan Komodifikasi Agraria

Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktis Hukum)

Pendahuluan

Tanah bukan komoditas. Bagi Serikat Petani Indonesia (SPI), tanah adalah alas produksi utama, sumber kehidupan, wujud kemerdekaan petani dan instrumen kedaulatan pangan. Dalam konteks neoliberalisme, tanah dikomodifikasi, diperdagangkan seperti barang dagangan biasa. Hal ini ditentang keras oleh SPI yang memandang tanah sebagai hak dasar rakyat, bukan objek kapital.

SPI menolak skema reforma agraria semu yang justru memfasilitasi investasi besar dan ekspansi korporasi seperti “food ested”. Mereka mendorong reforma agraria sejati yang berbasis pada distribusi tanah ke rakyat tak berumah diperkotaan , petani tak bertanah, kolektivisasi, pertanian berbasis keluarga petani dan keberlanjutan ekologi. Komodifikasi agraria berarti menjadikan tanah sebagai objek spekulasi dan akumulasi, yang menyingkirkan petani kecil dari ruang produksinya sendiri.

Di tengah pusaran liberalisasi ekonomi dan kapitalisasi ruang, Serikat Petani Indonesia (SPI) menawarkan satu narasi tandingan yang subversif: tanah bukan alat produksi, apalagi komoditi, melainkan alas produksi. Pandangan ini bukan sekadar semantik, tetapi kritik struktural atas dominasi pasar dalam mengendalikan ruang hidup petani.

Sebagai organisasi massa petani berbasis kampung dan perjuangan agraria, SPI meletakkan posisi tanah tidak dalam kerangka pasar, melainkan dalam konteks kehidupan, kebudayaan, dan kedaulatan. Di sinilah tanah tidak dilihat dari nilai tukarnya, melainkan nilai gunanya dalam menopang eksistensi komunitas agraris.¹

Dari Alat Menuju Komoditi: Kapitalisme dan Deregulasi Tanah

Kapitalisme agraria kontemporer telah menggeser makna tanah. Dalam konstruksi Marxian, tanah yang awalnya bagian dari commons—ruang bersama untuk hidup dan memproduksi—telah direduksi menjadi alat produksi yang dimiliki privat. Proses ini dikenal sebagai primitive accumulation: perampasan dan pemisahan petani dari tanahnya.²

Di Indonesia, pergeseran ini diperkuat oleh kebijakan deregulatif yang mempermudah investor mengakses lahan luas. UU Cipta Kerja (2020), yang direvisi menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memberi karpet merah bagi investasi lewat skema Hak Guna Usaha (HGU) berskala besar hingga 90 tahun.³ Sementara itu, petani justru sering tak memiliki sertifikat hak milik atas lahan yang telah digarap turun-temurun.

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023 terjadi 3.296 konflik agraria dengan luasan terdampak lebih dari 500.000 hektare. Dari konflik tersebut, 86 persen melibatkan korporasi dan petani, khususnya di sektor perkebunan dan kehutanan.⁴ Hal ini menegaskan bahwa komodifikasi tanah bukan asumsi teoritis, tapi fakta yang merampas.

Tanah sebagai Alas Produksi: Melampaui Logika Kapital

Konsep “alas produksi” yang ditawarkan SPI merupakan narasi tandingan terhadap logika dominan yang melihat tanah hanya sebagai instrumen ekonomi. Dalam bahasa yang lebih luas, “alas produksi” mengembalikan tanah sebagai fondasi kehidupan, bukan sekadar input produksi.

David Harvey dalam The Enigma of Capital menegaskan bahwa ruang (dalam hal ini tanah) menjadi instrumen akumulasi kapital bila dikuasai tanpa resistensi.⁵ Pandangan SPI adalah bentuk resistensi itu: bahwa tanah bukan sekadar tanah—ia adalah ruang budaya, tempat relasi manusia dengan alam, dan sumber hidup yang tak bisa diukur hanya dengan rupiah.

SPI, melalui praktik perjuangan reforma agraria sejati, terus mendorong redistribusi tanah kepada petani kecil, bukan lewat pasar tanah atau bank tanah, tetapi melalui hak kelola rakyat berbasis kolektifitas.⁶ Di sinilah letak pentingnya menegaskan posisi tanah sebagai alas, bukan alat produksi apalagi komoditas.

Kritik atas Proyek Bank Tanah

Bank Tanah, lembaga baru yang diatur dalam UU Cipta Kerja, didesain untuk “mengoptimalkan penggunaan tanah” secara ekonomis. Namun bagi SPI, ini adalah cara baru negara menjadi makelar tanah. Alih-alih menyelesaikan konflik agraria, Bank Tanah memperkuat komodifikasi melalui mekanisme lelang, sewa, dan kemitraan investasi.⁷

Dalam logika inilah, petani tak lagi menjadi subjek pengelola tanah, melainkan objek pasar agraria yang digerakkan oleh kepentingan kapital. Proyek food estate dan pertambangan di wilayah adat adalah contoh konkret di mana petani dan masyarakat lokal disingkirkan atas nama “efisiensi produksi”.⁸

Reforma Agraria Sejati: Jalan Kedaulatan Petani

SPI memandang bahwa hanya melalui reforma agraria sejati, konflik dan ketimpangan bisa diakhiri. Ini bukan semata redistribusi tanah, tetapi juga mencakup legalisasi tanah rakyat, penguatan kelembagaan petani, perlindungan produksi pangan lokal, dan penghentian kriminalisasi atas gerakan tani.⁹

Program ini telah diusulkan SPI sejak tahun 2000-an, dengan basis data subjek dan objek reforma agraria berbasis komunitas. Tanah dalam hal ini adalah ruang otonomi petani dari cengkeraman pasar, dan sekaligus alat untuk membangun kedaulatan pangan nasional.¹⁰

Menutup Logika Eksklusi, Membuka Jalan Emansipasi

Sudah saatnya negara mengakui bahwa petani bukan “aktor produksi” belaka, tetapi penjaga peradaban. Tanah bukan properti, melainkan ruang hidup. Dalam kerangka ini, pembangunan agraria tidak bisa didasarkan pada logika investasi semata. Ia harus berangkat dari keadilan sosial dan kedaulatan rakyat atas ruangnya sendiri.

Jika kita terus menjadikan tanah sebagai komoditi, maka kita sedang mempercepat kiamat agraria. Namun jika kita kembali menjadikan tanah sebagai alas produksi, maka kita sedang membangun masa depan Indonesia yang berakar pada keadilan, keberlanjutan, dan keberpihakan pada yang kecil.

Dalam perjuangannya, SPI membangun basis organisasi di pedesaan, memperkuat koperasi tani, serta melawan regulasi yang pro-pasar seperti UU Cipta Kerja, food ested dstnya. Mereka menyuarakan bahwa kedaulatan pangan tidak mungkin dicapai tanpa kedaulatan atas tanah.

Demikian

Penulis Ketua Pusat Bantuan Hukum Petani DPW SPI Sumut Dari Tahun 2009-2014

Catatan Kaki:

1. Serikat Petani Indonesia (SPI). Manifesto SPI: Reforma Agraria Sejati dan Kedaulatan Pangan. Jakarta, 2022.

2. Marx, Karl. Capital Volume I. (1867).

3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

4. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Catatan Akhir Tahun: Konflik Agraria dan Reforma Agraria Sejati. 2023.

5. Harvey, David. The Enigma of Capital and the Crises of Capitalism. Oxford University Press, 2010.

6. SPI. Manifesto SPI, ibid.

7. Badan Pertanahan Nasional (BPN). Data Ketimpangan Kepemilikan Lahan Nasional. 2023.

8. KPA, Catatan Akhir Tahun, ibid.

9. SPI, Manifesto SPI, ibid.

10. Badan Pusat Statistik (BPS). Sensus Pertanian dan Ketimpangan Kepemilikan Lahan. 2023.