Opini  

Trading Halt dan Potensi Lengsernya Prabowo

Foto: Ilustrasi

Penulis: Hara Nirankara (X- @hnirankara)

18 Maret 2025 menjadi hari yang mungkin akan dicatat sebagai sejarah bagi banyak orang di Indonesia, khususnya pelaku saham. Pada pukul 11:19 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk lebih dari 5%, turun 325,03 poin ke angka 6.146,91. Atas anjloknya harga saham, BEI harus menghentikan perdagangan sementara (trading halt), sesuatu yang terakhir kali terjadi saat pandemi COVID-19 melanda di Maret 2020.

Bayangkan, pasar saham yang biasanya ramai tiba-tiba “diam” karena semua panik. Namun, fenomena ini bukan hanya tentang saham atau uang di dompet para investor. Fenomena yang terjadi hari ini, berkaitan dengan cerita tentang hidup kita sehari-hari. Misalnya, harga beras yang naik, pekerjaan yang goyah, sampai harapan yang mulai pudar. Nah yang menjadi pertanyaan, “Apa yang sebenarnya terjadi di pasar saham?”.

Kalian bisa membayangkan kalau IHSG diibaratkan seperti termometer yang mengukur kesehatan ekonomi kita, dari akhir 2024 di angka 7.163, sekarang menjadi 6.146, turun lebih dari 11% dalam tiga bulan. Investor asing kabur membawa Rp 24 triliun, termasuk Rp 3,47 triliun sehari setelah Danantara diresmikan tanggal 24 Februari 2025. Trading halt diibaratkan sebagai tombol darurat yang ditekan oleh BEI, karena semua orang buru-buru menjual saham mereka.

Apa sih yang menyebabkan BEI menekan tombol darurat? Di dalam negeri, menurut saya terdapat tiga “biang kerok”: (1) Danantara, (2) pemotongan APBN, dan (3) RUU TNI. Sedangkan di luar negeri, tarif baru dari United State, perang Rusia-Ukraina, serta ekonomi US yang sedang sakit, membuat suasana tambah runyam. In my humble opinion, fenomena yang terjadi ini bukan hanya tentang angka, tetapi tentang kepercayaan yang ambruk.

Kebijakan yang Bikin Ndas Ngelu

Mari kita bongkar sedikit demi sedikit, sehingga kalian bisa memahaminya dengan bahasa yang saya sederhanakan. Pertama, Danantara diresmikan pada 24 Februari 2025 sebagai “dompet besar” untuk mengelola aset BUMN senilai Rp 14.715 triliun. Rencananya, uang kelolaan itu akan digunakan untuk membantu proyek besar seperti hilirisasi dan ketahanan pangan, namun kenapa pasar malah memberikan respon “takut”?.

Kalian bisa cek sendiri pergerakan harga saham gabungan setelah Danantara diresmikan, di mana pada hari itu IHSG justru turun 0,82%, sedangkan hari berikutnya bertambah menjadi 2,34%. Dalam kondisi IHSG yang turun, tentu akan membuat Investor bertanya, “Uangnya (Danantara) dari mana? Tata kelolanya seperti apa?”. Banyak pihak yang merasa khawatir tentang dividen BUMN, yang biasanya menjadi uang APBN Rp 90 triliun, ditarik untuk Danantara.

Bhima Yudhistira dari Celios mengatakan bahwa pengalihan seluruh aset BUMN ke Danantara merupakan “ketidakpastian yang mahal”, di mana setelah Danantara diresmikan, saham perbankan seperti salah satunya BMRI langsung jatuh sebanyak 1,48% ke Rp5.000.

Kedua, ketika APBN dipotong besar-besaran, pendapatan negara pada Februari 2025 turun menjadi Rp 316,9 triliun, masih jauh dari target sebesar Rp 3.005,13 triliun (satu tahun), ditambah dengan penerimaan pajak yang turun sebesar 30% dibanding tahun lalu. Sementara itu, belanja negara juga dikurangi menjadi Rp 348,1 triliun, membuat defisit sebanyak Rp 31,2 triliun. Pemerintah berkata bahwa mereka ingin menghemat Rp 750 triliun, sedangkan dananya dialihkan untuk Danantara dan program Makan Bergizi Gratis. Sederhananya, uang hasil pemangkasan digunakan untuk keperluan ekonomi, sedangkan uang hasil pemangkasan yang seharusnya digunakan untuk merawat jalan atau membayar gaji PNS, menjadi berkurang. Akibatnya, kita semua menerima efek dari berkurangnya perputaran uang yang beredar.

Ketiga, RUU TNI yang rencananya, tentara bisa bekerja di jabatan sipil (kalau tidak salah ada 22 posisi), dan usia pensiun yang dinaikkan dari 58 ke 60 tahun menjadi keresahan yang lain bagi pelaku pasar modal. Spekulasi demi spekulasi pun muncul, sehingga membuat banyak pihak merasa takut jika pemerintahan Prabowo berubah menjadi militeristik.

Andry Satrio Nugroho dari INDEF mengatakan bahwa keresahan atas faktor-faktor ini bisa menjadi “bom waktu bagi ekonomi”. Ketika ketiga faktor tadi menumpuk menjadi satu, trading halt menjadi pertanda semua orang sedang panik. Ya, bukan hanya investor yang panik, tapi kita semua.

Dompet Kita yang Makin Tipis

Daya beli sederhananya yaitu tentang seberapa banyak kita bisa membeli sesuatu dari gaji atau tabungan yang kita miliki, sedangkan saat ini orang-orang sudah mulai takut untuk berbelanja. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun dari 123 di Desember 2024, menjadi 110 pada Februari 2025. Penjualan di toko-toko turun sebanyak 2,5% dibandingkan dengan tahun lalu, dan harga rumah di Jakarta isunya turun hingga 1,5%.

Ketika IHSG jatuh dan trading halt terjadi, orang yang terbiasa bermain saham, terutama yang kelas kecil, mengalami kerugian yang signifikan. Perusahaan besar yang sahamnya anjlok, misalnya yang berjualan makanan atau minuman, bisa mulai memecat karyawan mereka. Bayangkan, dengan kondisi gaji tidak naik signifikan, tabungan yang semakin terkuras, namun harga beras justru naik 4,1% membuat kita semua tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga mengusik rasa tenang kita dalam kehidupan sehari-hari.

Ekonomi kita saat ini, seperti sebuah mobil yang bensinnya akan habis. Di akhir 2024, pertumbuhannya (ekonomi) hanya sebesar 4,95%, padahal targetnya 5,2%. Sekarang, Q1 2025 diprediksi 4,5-4,7%, tetapi realisasinya bisa saja lebih jelek lagi. Pabrik-pabrik mengalami penurunan produksi sebanyak 1,2% di Februari 2025, sedangkan ekspor Indonesia menjadi susah karena United State membuat aturan tentang tarif yang baru.

Trading halt membuat investor asing kabur, uang yang seharusnya bisa untuk membuat kegiatan ekonomi yang baru menjadi hilang. Konsumsi rumah tangga yang nyumbang 55% ekonomi, bisa turun menjadi 2-3%, dan hal itu akan membuat ekonomi negara semakin lelet. Kondisi ekonomi Indonesia yang carut marut seperti sekarang bukan hanya tentang uang yang tidak masuk, tapi juga tentang pekerjaan yang hilang dan harapan anak muda untuk masa depan yang lebih baik semakin jauh.

Harga Naik, Tapi Dompet Kosong

Harga barang per Februari 2025 mengalami kenaikan sebesar 2,75% jika dibandingkan dengan tahun lalu, sedangkan londo ireng berkata bahwa fenomena ini masih aman, katanya. Namun, ketika trading halt terjadi, rupiah jatuh ke Rp 16.400 per dolar dari Rp 15.800 di akhir 2024, membuat barang impor harganya menjadi mahal, begitu juga dengan harga beras (hasil impor) yang mengalami kenaikan sebesar 4,1%, sedangkan untuk bensin diperkirakan akan menyusul karena Indonesia masih melakukan impor minyak mentah. Mungkin saja nanti bensin harganya akan naik sebesar 3,5%, atau mungkin lebih parah di pertengahan 2025.

Nah di sisi lain sebagai kabar baiknya, karena orang-orang mengalami ketakutan untuk berbelanja, akan ada barang-barang seperti rumah yang justru malah turun harganya, seperti halnya di Jakarta sebuah rumah sudah mulai turun harganya sebesar 1,5%.

Kabar baiknya yang lain, bukan hanya Indonesia saja yang mengalami ketidakpastian ini, karena negara lain juga sedang mengalami kekacauan yang sama. United State membuat kebijakan atas tarif yang baru per Maret 2025, sehingga membuat barang Indonesia menjadi susah untuk dijual ke sana. Sementara itu, perang Rusia-Ukraina membuat harga minyak semakin mahal, serta ekonomi US yang sedang sakit membuat investor memilih kabur ke negara yang lebih aman.

Namun sayangnya, Indonesia bukan termasuk sebagai negara yang aman bagi investor untuk saat ini, karena adanya ketidakpastian investasi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang sudah saya jelaskan di atas. Nah harapannya, andai iklim di dalam negeri memiliki kepastian seperti Danantara yang dikelola dengan sangat profesional, APBN yang tidak dipotong, RUU TNI yang tidak dibuat dengan buru-buru, mungkin saja keadaan kita tidak akan separah ini. Sayangnya, Indonesia justru membuat masalah sendiri di tengah badai ekonomi yang sedang melanda banyak negara.

Lebih dari Sekedar Uang

Coba kita renungkan bersama, kekacauan ini bukan hanya tentang harga saham yang jatuh atau dompet menipis. Danantara, APBN, dan RUU TNI, membuat banyak orang merasa takut karena masa depan Indonesia tidak jelas, serta membuat kita merasa tidak aman (adanya ancaman multifungsi TNI). Pemerintah menjanjikan kita semua hidup yang lebih baik, tapi kenapa malah membuat kita semua bingung dengan kebijakan-kebijakan grusa-grusunya?.

IHSG turun, orang-orang takut untuk berbelanja, harga kebutuhan mengalami kenaikan, serta politik (kebijakan) chaos yang membuat kita semakin ragu dengan pemerintahan Prabowo Subianto.

Trading halt ibaratnya seperti lampu merah bagi pemerintah, resminya Danantara membuat investor ragu, APBN yang dipotong semakin membuat perekonomian negara menjadi susah, serta RUU TNI membuat sipil khawatir. Imbasnya, dompet kita semakin tipis, pertumbuhan ekonomi lelet, serta kenaikan harga membuat kita tambah pusing. Pemerintah harus bergerak cepat dengan membatalkan RUU TNI, jelaskan tentang Danantara agar orang-orang percaya yang dibarengi dengan profesionalitas badan usahanya, serta bisa juga dengan memberi bantuan untuk ekonomi (mungkin dengan menurunkan bunga bank).

Langkah-langkah tadi bukan hanya akan membuat harga saham naik kembali, tapi juga untuk kita semua sehingga bisa tidur dengan nyenyak, belanja tanpa rasa takut, dan yakin bahwa besok hari akan lebih baik. Nah opsi yang paling buruknya, jika Prabowo masih saja meremehkan pendapat ahli serta pakar melalui kritik konstruktifnya, bisa saja terjadi chaos dan lengsernya Prabowo dari kursi kekuasaan.

Daftar Pustaka:

Badan Pusat Statistik. 2025. Laporan Ekonomi Februari 2025: Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi. Jakarta: BPS.

Bhima Yudhistira. 2025. Pernyataan dalam wawancara CELIOS: “Ketidakpastian Danantara dan RUU TNI Mahal Harganya.”

Bursa Efek Indonesia. 2025. Laporan Perdagangan Harian: Trading Halt IHSG.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2025. Laporan Realisasi APBN Februari 2025. Jakarta: Kemenkeu.

KontraS. 2025. Pernyataan Sikap terhadap RUU TNI. Jakarta: KontraS.

Nugroho, Andry Satrio. 2025. Pernyataan dalam wawancara INDEF: “RUU TNI Bom Waktu Ekonomi.”