Opini  

USU Diduga Jadi BUMD Bayangan Pemko Medan, Dari Proyek Kolam Retensi, Dugaan Praktek Makelarisasi Jabatan, Hingga Markas Pemenangan Bobby Nasution Di Pilkada 2024

Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH

(Ketua Forum Penyelamat USU))

 

Pendahuluan

 

“Kampus yang kehilangan otonomi dan nurani, tak ubahnya sekretariat kekuasaan yang menyamar sebagai lembaga ilmiah.”

 

Dalam lanskap demokrasi yang sehat, kampus semestinya berdiri sebagai benteng terakhir nalar dan etika. Namun realitas di USU memperlihatkan sesuatu yang sebaliknya: institusi pendidikan tinggi yang kehilangan keberanian untuk berkata “tidak” pada kekuasaan. Dari proyek kolam retensi yang sarat kepentingan citra politik Pemko Medan, hingga dugaan transaksi jabatan melalui relasi oknum akademisi, USU terlihat lebih sibuk membangun loyalitas politik ketimbang integritas akademik.

 

Yang lebih ironis, simbol-simbol keilmuan seperti toga dan gelar akademik kerap digunakan sebagai kamuflase. Di balik tampilan intelektual itu, berlangsung praktik-praktik memalukan dalam bentuk cawe-cawe Pilpres dan Pilkada 2024 yang justru mencederai akal sehat publik. Kampus dijadikan perpanjangan tangan untuk merias wajah kekuasaan, bahkan menjadi “markas belakang” konsolidasi pemenangan politik. Sejumlah kegiatan ilmiah disusupi agenda partisan, dan organisasi mahasiswa dilibatkan dalam orkestrasi narasi keberpihakan.

 

Jika hal ini terus berlangsung, maka kita menyaksikan bukan saja komodifikasi ruang akademik, tapi juga pembusukan moral kelembagaan. Bukan hal aneh jika publik mulai bertanya: mengapa kampus diam? Di mana posisi Senat Akademik serta Majelis Wali Amanat? Dan bagaimana mahasiswa bisa tetap percaya pada lembaga yang justru bersekongkol dengan kekuasaan, bukan mengawasinya?

 

Krisis ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari pembiaran sistematis, dari kepemimpinan kampus yang gagal menjaga jarak dengan kekuasaan, dan dari budaya akademik yang makin permisif terhadap pelanggaran etika. Yang lebih menakutkan bukanlah intervensi politik itu sendiri, melainkan hilangnya kesadaran moral bahwa kampus seharusnya menjadi tempat menyemai kejujuran, bukan menyuburkan kepentingan.

 

Sudah waktunya USU kembali ke khitahnya. Toga bukan ornamen kekuasaan. Ia adalah simbol kehormatan intelektual. Jangan jadikan toga sebagai jubah kamuflase untuk membenarkan transaksi, kooptasi, dan pengkhianatan terhadap akal sehat. Jika perguruan tinggi tidak bisa lagi dipercaya untuk menjaga integritas, maka kita tengah menyaksikan bukan kemajuan pendidikan, tetapi tragedi peradaban.

 

Kolam Retensi: Proyek Gagal Fungsi Dan Bancakan Antar Institusi 

 

Kolam retensi Universitas Sumatera Utara (USU) semula dipromosikan sebagai solusi ekologis terhadap persoalan banjir Kota Medan. Namun alih-alih menjadi jawaban bagi persoalan lingkungan, proyek ini justru menjelma simbol kolaborasi problematik antara institusi pendidikan dan kekuasaan lokal. Infrastruktur yang digagas bersama Pemerintah Kota Medan itu kini dituding sebagai proyek gagal fungsi dan bancakan antar institusi yang sarat kepentingan politik jangka pendek.

 

Sebuah kajian dari mahasiswa Pascasarjana Teknik Sipil USU pada 2023 mengungkap fakta-fakta mencemaskan. Tidak terdapat dokumen AMDAL publik yang transparan. Kajian hidrologis yang menjadi dasar teknis proyek pun dinilai mengabaikan kerusakan tata ruang di lingkungan kampus. Bahkan ironis, alih-alih menuntaskan banjir, kolam ini justru memicu genangan baru di kawasan Padang Bulan, yang sebelumnya relatif aman dari limpahan air.

 

Proyek ini menggiring pertanyaan fundamental: Apakah kampus telah menyerahkan otonomi lahannya demi kepentingan citra politik eksternal? Mengapa pembangunan yang berdampak besar pada lingkungan akademik tidak melalui proses deliberatif bersama sivitas kampus? Ketika universitas menyerahkan ruang fisiknya tanpa kajian akademik terbuka, itu bukan hanya pelanggaran prosedural, tapi juga bentuk pengabaian terhadap prinsip keilmuan itu sendiri.

 

Lebih dari itu, skema kerja sama yang tidak transparan menimbulkan spekulasi akan adanya mutual benefit yang tidak didasarkan pada kepentingan publik, melainkan transaksi politik dan ekonomi antarelite. Sejumlah laporan, termasuk investigasi oleh Baraktime.com, bahkan menyebut proyek ini sebagai “bancakan institusi”—istilah yang mencerminkan proyek ini telah kehilangan ruh pengabdiannya kepada masyarakat.

 

USU harus menjawab. Tidak cukup dengan jawaban normatif atau seremonial teknokratik. Ini soal kepercayaan publik terhadap kampus sebagai institusi nalar dan etik. Jika proyek seperti kolam retensi terus dijalankan tanpa kajian ilmiah terbuka, maka kita patut bertanya: masihkah universitas ini berdiri atas fondasi ilmu pengetahuan, atau telah runtuh menjadi perpanjangan tangan kekuasaan lokal semata?

 

Dugaan Makelarisasi Jabatan: Kampus sebagai Broker

 

Fenomena makelarisasi jabatan di Kota Medan bukan lagi isu senyap di balik layar birokrasi. Sejumlah informasi yang beredar menunjukkan bahwa beberapa oknum akademisi di Universitas Sumatera Utara (USU) diduga memainkan peran sebagai perantara dalam proses pengisian jabatan struktural di lingkungan Pemerintah Kota Medan. Mereka tidak sekadar menyodorkan nama, tetapi juga membangun jejaring pengaruh melalui simbol-simbol akademik, legalitas administratif, hingga capaian formalitas birokratis yang dikemas seolah-olah ilmiah.

 

Dugaan ini kian menguat ketika sedikitnya tujuh pejabat eselon di Pemko Medan diketahui memiliki koneksi langsung dengan elite kampus. Lebih mencurigakan lagi, setiap langkah promosi jabatan mereka disebut harus melalui “konsultasi tidak resmi” dengan petinggi USU. Persetujuan tersebut tak ubahnya menjadi restu politik bergaya akademik—praktik rente yang menjadikan jabatan sebagai komoditas dan kampus sebagai agennya.

 

Model relasi semacam ini telah menjadikan USU bukan sebagai lembaga otonom pencetak intelektual, melainkan bagian dari mata rantai kekuasaan lokal. Alih-alih menjadi watchdog publik, kampus justru tampil sebagai pengukuh status quo yang merawat sistem patronase birokrasi. Tradisi meritokrasi dan profesionalisme dibungkam oleh kepentingan pragmatis, diselimuti oleh jubah ilmiah yang rapuh dan manipulatif.

 

Yang lebih menyakitkan adalah fakta bahwa praktik ini telah menjadi rahasia umum di ruang-ruang publik Kota Medan. Dalam perbincangan santai di caffe dan warung kopi, tak jarang terdengar candaan serius: “Kalau mau jadi kepala dinas, jangan ke wali kota, tapi lapor dulu ke petinggi USU.” Cemoohan ini mencerminkan hilangnya marwah kampus di mata masyarakat. Ketika kampus justru menjadi pintu belakang kekuasaan, publik kehilangan institusi moral terakhirnya.

 

USU menghadapi dilema moral dan struktural yang serius. Jika kampus tetap membiarkan diri menjadi broker kekuasaan, maka bukan hanya birokrasi yang rusak, tetapi juga generasi intelektual yang dilahirkan darinya. Saatnya sivitas akademika bersuara. Kampus harus direbut kembali—bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk akal sehat dan integritas bangsa.

 

Kampus USU Kantor Politik Pemenangan Bobby

 

Jelang Pilkada 2024, aura politik tak lagi bersembunyi di balik baliho atau panggung deklarasi. Kini, ia hadir di ruang-ruang akademik, menumpang nama pengabdian, seminar ilmiah, dan pelatihan kepemimpinan. Universitas Sumatera Utara (USU), yang dahulu disegani sebagai institusi keilmuan independen, kini diduga kuat menjelma menjadi kantor politik tidak resmi untuk pemenangan Bobby Nasution.

 

Dugaan ini bukan tanpa dasar. Mantan aktivis HMI dan tokoh masyarakat Medan, Muhammad Yusuf Tambunan, dalam pernyataannya (2024), menyoroti banyak kegiatan kampus yang mengundang tokoh-tokoh politik pro-petahana. Beberapa organisasi kemahasiswaan bahkan ditengarai mendapat “asupan materi” langsung dari tim eksternal yang membawa program-program pencitraan Bobby. Fakta ini menyulut pertanyaan: benarkah ruang akademik telah disulap menjadi ruang komando politik?

 

Lebih memprihatinkan, fasilitas kampus yang dibiayai negara—dari gedung serbaguna, auditorium, hingga pusat pelatihan—diduga dipakai untuk kegiatan politik yang disamarkan sebagai program peningkatan kapasitas atau kajian publik. Dugaan ini diperkuat oleh laporan media BicaraIndonesia.net, yang menyebut keterlibatan Rektor USU dalam jaringan dukungan politik dan dugaan pengabaian terhadap netralitas kampus sebagai institusi publik.

 

Permohonan agar kampus netral pun pernah datang dari Romo Muhammad Syafii, Wakil Menteri Agama sekaligus Ketua Umum PP IKA USU dan elite Partai Gerindra. Dalam kapasitasnya sebagai Presidium Mejelis Nasional KAHMi dan tokoh nasional, Romo Syafii meminta agar Rektor USU yang merupakan juniornya sebagai kader HMI Cab. Medan untuk menjaga moralitas kampus dan tidak turut cawe-cawe dalam kontestasi Pilpres 2024. Namun tragisnya, permintaan moral itu justru ditolak dengan mentah-mentah. USU, yang seharusnya menjaga jarak dari kontestasi politik praktis, malah menunjukkan sikap vulgar dengan keberpihakan terbuka kepada pasangan Ganjar-Mahfud pada Pilpres 2024, dan diduga memberi ruang nyaman bagi kandidat lokal tertentu di Pilkada 2024.

 

Jika gejala ini dibiarkan, kita akan menyaksikan transformasi kampus menjadi shadow campaign office—kantor bayangan yang tak tertulis dalam struktur tim sukses, tapi sangat berpengaruh dalam distribusi pengaruh dan sumber daya. Lebih dari itu, ini adalah bentuk pelecehan terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kampus tidak boleh menjadi alat kuasa politik jangka pendek. Karena ketika kampus tunduk, demokrasi pun kehilangan tiang penyangganya.

 

Perspektif Teoretik: Hegemoni dan Kooptasi Kultural

 

Dalam kerangka pemikiran Antonio Gramsci, kekuasaan modern tidak lagi bergantung pada alat represi semata, melainkan bekerja secara halus melalui mekanisme hegemoni kultural. Dalam konteks ini, kampus menjadi ruang strategis untuk menanamkan “persetujuan” terhadap kekuasaan, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan pembentukan wacana dan simbol-simbol dominan. Ketika narasi politik praktis dibungkus sebagai pengabdian masyarakat atau seminar akademik, publik pun tanpa sadar sedang digiring menerima status quo sebagai keniscayaan.

 

USU, sebagai lembaga akademik publik, kini terjerat dalam pusaran kekuasaan lokal yang secara sistemik menggiringnya menjadi alat legitimasi politik. Otonomi akademik yang seharusnya menjaga jarak dari kepentingan kekuasaan, justru dikompromikan dalam bentuk fasilitasi kegiatan, dukungan simbolik, hingga reproduksi narasi yang berpihak. Ini bukan sekadar pelanggaran moral akademik, tapi juga bentuk kooptasi intelektual yang melemahkan daya kritis kampus sebagai benteng rasionalitas publik.

 

Akibatnya, kampus tidak lagi berdiri sebagai oposisi moral terhadap kekuasaan, tetapi menjelma menjadi organik power yang menyuplai dukungan ideologis terhadap elite lokal. Ketika perguruan tinggi tunduk pada narasi penguasa, maka kita sedang menyaksikan kematian perlahan terhadap nilai ilmu itu sendiri. Ini bukan sekadar soal politik kampus, tetapi tentang hilangnya kompas etika dalam dunia pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi pelita dalam gelapnya arah bangsa.

 

Penutup

 

Universitas Sumatera Utara (USU) bukan milik Pemerintah Kota Medan. USU bukan instrumen pemenangan Pilkada. USU bukan broker jabatan. Ia adalah institusi pendidikan tinggi milik rakyat, yang diamanahkan untuk mencetak generasi yang kritis, ilmiah, dan independen. Ketika kampus terseret dalam pusaran kekuasaan, maka yang tercederai bukan hanya etika akademik, tetapi juga harapan publik terhadap masa depan pendidikan.

 

Jika tren kooptasi ini terus dibiarkan, maka kita sedang menyaksikan bukan sekadar degradasi institusi, melainkan krisis moral yang merusak akar kepercayaan masyarakat. Kampus yang mestinya menjadi benteng pemikiran justru berubah menjadi panggung kekuasaan. Di saat otonomi akademik dikooptasi dan ruang-ruang intelektual disulap jadi pos politik, maka yang hilang bukan hanya integritas, tapi juga martabat ilmu pengetahuan itu sendiri.

 

Sudah saatnya Senat Akademik, mahasiswa, dan seluruh sivitas akademika USU mengambil sikap tegas: menolak politik praktis di lingkungan kampus, menolak transformasi USU menjadi proyek kekuasaan lokal, dan mengembalikan marwah universitas sebagai penjaga akal sehat publik. Karena jika kampus memilih diam, maka rakyat akan lupa bahwa ilmu pernah punya kehormatan, dan sejarah akan mencatat universitas hanya sebagai catatan kaki dalam daftar panjang kekuasaan yang menyesatkan.

 

Demikian.

 

Penulis Advokat dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk’ 92

 

_________

 

Referensi

 

1. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. International Publishers, 1971.

→ Rujukan utama teori hegemoni kultural, menjelaskan bagaimana kekuasaan bekerja melalui lembaga pendidikan dan budaya.

 

2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

→ Dasar hukum otonomi kampus, kebebasan akademik, dan larangan intervensi politik praktis di perguruan tinggi negeri.

 

3. Mantan Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumut Pertanyakan Proyek Kolam Retensi USU, https://www.medanposonline.com/sumatera-utara/5841/mantan-kepala-perwakilan-ombudsman-ri-sumut-pertanyakan-proyek-kolam-retensi-usu/

 

4. Rektor USU Didemo Mahasiswa karena Diduga Cawe-cawe di Pilgub Sumut, https://www.detik.com/sumut/berita/d-7652741/kala-rektor-usu-didemo-mahasiswa-karena-diduga-cawe-cawe-di-pilgub-sumut.

 

5. MYT ,https://www.bicaraindonesia.net/rektor-usu-dicueki-sufmi-dasco-diduga-cawe-cawe-demi-menangkan-bobby-di-pilkadasu/