Kenaikan harga tahu dan tempe belakangan ini terasa di banyak dapur rumah tangga Indonesia. Bagi sebagian orang, ini sekadar naiknya harga bahan makanan biasa. Tapi siapa sangka, lonjakan harga dua makanan rakyat ini bisa ditarik garis lurus ke kebijakan ekonomi luar negeri—tepatnya ke Gedung Putih di Washington DC.
Awal April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi menaikkan tarif impor terhadap produk-produk dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Tarif yang disebut “reciprocal tariffs” ini awalnya dikenakan sebesar 10 persen, lalu meningkat jadi 20 persen, dan akhirnya mencapai 32 persen bagi negara-negara tertentu seperti Indonesia (K&L Gates LLP, 2025). Kebijakan ini masih berlaku hingga akhir April, dan dampaknya mulai merembet ke mana-mana—termasuk ke tahu dan tempe di meja makan kita.
Mengapa tahu dan tempe? Karena bahan dasarnya, yaitu kedelai, sebagian besar masih diimpor dari Amerika Serikat. Sekitar 90 persen kebutuhan kedelai nasional kita datang dari sana. Ketika harga kedelai naik di pasar internasional karena gangguan pasokan dan tarif impor, produsen lokal harus menyesuaikan harga. Imbasnya? Harga tempe naik, tahu ikut naik, dan protein murah meriah bagi jutaan rakyat jadi makin sulit dijangkau (Pikiran Rakyat, 2025).
Namun, dampak tarif ini tidak berhenti sampai di sana. Meskipun sebagian besar komoditas pangan lain seperti jagung, gandum, dan daging tidak berasal dari AS, kenaikan tarif tersebut memicu efek domino di pasar global. Negara besar seperti China yang biasanya mengimpor dari AS, mulai mengalihkan permintaan ke negara lain seperti Brasil dan Argentina. Persaingan makin ketat, harga global terdorong naik, dan Indonesia yang juga bergantung pada negara-negara tersebut ikut terdampak secara tidak langsung (GoodStats, 2023; Bisnis Indonesia, 2024).
Pemerintah Indonesia juga berada dalam posisi yang tidak mudah. Di satu sisi, ingin menjaga hubungan dagang agar ekspor Indonesia ke AS tidak dikenakan tarif lebih tinggi. Di sisi lain, harus memikirkan ketahanan pangan dalam negeri. Langkah kompromi yang sempat dibahas adalah membuka keran impor pangan lebih luas dari AS, termasuk gandum dan kedelai, untuk menyeimbangkan neraca dagang (Republika, 2025). Tapi pilihan ini berisiko: harga komoditas dari AS sedang tinggi, dan terlalu mengandalkan satu negara bisa menciptakan kerentanan jangka panjang.
Kebijakan proteksionisme Amerika Serikat juga menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ketegangan dagang menyebabkan investor menarik dana dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga rupiah melemah. Ketika rupiah jatuh, semua bahan impor otomatis jadi lebih mahal. Situasi ini menciptakan potensi inflasi pangan, terutama bagi komoditas yang tak bisa diproduksi dalam negeri seperti gandum, kacang-kacangan, dan beberapa jenis daging olahan (Reuters, 2025).
Namun di balik tantangan ini, ada juga peluang. Krisis—sekecil apa pun—bisa menjadi momentum untuk memperkuat pondasi ketahanan pangan nasional. Pemerintah sebenarnya sudah sejak lama menggaungkan diversifikasi pangan lokal, seperti mengembangkan sorgum, singkong, hingga sagu. Tapi tanpa insentif nyata, ekosistem pasar untuk pangan lokal masih belum cukup kuat. Petani butuh jaminan pasar, konsumen butuh edukasi, dan industri perlu didorong untuk mulai mengolah bahan-bahan lokal sebagai alternatif pangan massal.
Tantangan ini juga seharusnya menyadarkan kita bahwa ketahanan pangan tidak hanya soal jumlah stok di gudang Bulog. Lebih dari itu, ia menyangkut kemampuan rakyat untuk mengakses pangan secara terjangkau, berkelanjutan, dan sehat. Ketika tahu dan tempe saja mulai memberatkan, maka tanda-tanda krisis bukan lagi di ujung tanduk—tapi sudah mengetuk pintu rumah kita.
Maka dari itu, kebijakan ekonomi luar negeri, betapapun jauhnya, tetap bisa menjalar sampai ke isi piring masyarakat. Tarif tinggi dari AS bukan hanya angka dalam laporan ekspor-impor, melainkan nyata terasa melalui kenaikan harga makanan sehari-hari. Ini adalah peringatan bahwa Indonesia tidak bisa terus bergantung pada pasar global tanpa strategi mitigasi yang matang. Kita perlu membangun ketahanan pangan berbasis lokal, yang tidak rapuh oleh keputusan sepihak negara lain.
Dalam jangka pendek, pemerintah harus menguatkan perlindungan sosial dan memastikan bahan pangan pokok tetap terjangkau. Dalam jangka panjang, kita butuh visi kedaulatan pangan yang berorientasi pada produksi dalam negeri, diversifikasi pangan, dan diplomasi dagang yang lebih lincah. Karena sesungguhnya, saat dapur rakyat mulai terusik oleh kebijakan luar negeri, itulah saatnya negara hadir bukan hanya sebagai penonton, tapi sebagai pelindung yang aktif dan tanggap.
Oleh: Dadan K. Ramdan
Pegiat pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat